Buy and Sell text links

Berita hoki

Foto wayang1...ko Acit, Ketua grup wayang Tionghoa Sam Khau Bun Gie Siah
Foto wayang2....suasana pementasan lakon wayang Tionghoa di salah satu kelenteng
Foto wayan3....salah satu Sunting yakni perlengkapan di kepala yang dipakai salah satu pemain wayang harganya capai Rp 20 juta Persatu Sunting.
Foto2 Ist

Bisa Tampilkan 200 Cerita
-seni wayang Sam Khau Bun Gie Siah

SUASANA kelenteng Dewi Kwan In mendadak ramai. Suara musik menghentak lengkap dengan dialog beberapa orang. Di bagian dalam terdapat panggung. Beberapa orang yang mengenakan pakaian khas kekaisaran berdiri diatas panggung. Mereka terlibat dialog berbahasa Tionghoa sesekali tepuk riuh penonton pun terdengar. Kala itu kelenteng yang terletak di dekat kawasan kandang kawat palembang itu sedang menayangkan lakon wayang Tionghoa. Lakon dari grup wayang Sam Khau Bun Gie Siah pimpinan Hasan Solihin atau akrab disapa ko Acit ini menampilkan cerita tentang tujuh Jenderal. Cerita itu mengajarkan manusia pentingkan mengembangkan nilai-nilai persahabatan, kasih sayang atau Welas asih kepada sesama dengan berbungkus nilai kejujuran serta saling hormat-menghormati.
"Memang lakon cerita wayang ini lebih kepada pembelajaran kepada penonton atau kita semua bahwa banyak hikmah dan perjalanan hidup yang kita ambil karena memang cerita yang ditampilkan lebih banyak mengulas kisah hidup para dewa serta umat manusia,"kata ko acit kepada sripo beberapa waktu lalu.

Menurutnya ada sekitar 200 naskah cerita yang disiapkan Grup Wayang Tionghoa Sam Khau Bun Gie Siah untuk tampil di setiap pementasan. Namun dari 200 naskah cerita tersebut yang paling sulit untuk dipentaskan adalah kisah perang.
Apa alasannya? Menurut Acit,
karena kisah perang membutuhkan SDM yang banyak mulai dari para prajurit hingga tokoh utama. "Selain itu dalam kisah perang membutuhkan panggung yang besar beda dengan kisah-kisah. Jadi kalau panggungnya kecil otomatis tidak bisa menampilkan kisah perang,"ucapnya.
Acit juga mengatakan, peralatan untuk tampil yang dimiliki oleh Grup Wayang Tionghoa Sam Khau Bun Gie Siah termasuk lengkap dengan jumlah aset mencapai Rp 5 M. "Sebagian besar peralatan tersebut dibeli langsung dari Cina, jadi kalau topeng Kera Sakti atau Fat kay terlihat mirip sekali,"katanya.
Acit juga menceritakan, kalau jumlah anggota wayang Tionghoa ini mencapai 60 orang yang sebagian merupakan para remaja. "Mereka rutin latihan di Jl Letda Arozak deket kuburan Kandang Kawat atau tepatnya dilingkungan Kelenteng yang dewa utamanya Dewi Kwan Im,"ucapnya.
Sejak setahun terakhir, lanjut dia, dalam penampilannya Group Wayang Tionghoa Sam Khau Bun Gie Siah selalu menggunakan monitor digital untuk menterjemahkan kata-kata Mandarin yang ditampilkan. "Jadi tidak hanya warga keturunan Tionghoa yang bisa memahami lakon yang kita tampilkan tapi warga pribumi juga bisa,"jelasnya. (Dewi handayani)



Tiga Kali Mati Suri
Sejak didirikan 58 tahun silam, Wayang orang Yayasan Tridharma Sam Khau Bun Gei Siah di Kota Palembang ini mengalami pasang surut. Bahkan kesenian asli dari daerah Hokkian, Tiongkok ini sempat mengalami mati suri sebanyak tiga kali sebelum kembali eksis seperti saat ini. Bahkan selama era orde baru (Orba), sempat dua kali mati suri atau tidak ada aktifitas sama sekali.
"Dulu, beberapa tokoh Tionghoa yang ada di Palembang butuh kesenian yang asli dari tanah leluhur. lalu para tokoh ini sepakat membentuk Wayang Orang Yayasan Tridharma Sam Khau Bun Gei Siah di tahun 1958 silam," kata acit yang merupakan ketua keenam dari Wayang Orang Yayasan Tridharma Sam Khau Bun Gei Siah.

Meski demikian, kondisi tersebut tidak berlangsung lama. ketika Indonesia meledak Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965, perlahan namun pasti kesenian ini mulai mati. Terlebih lagi, banyak pendiri dan tokoh tadi yang enggan meneruskan kesenian tersebut. "Zaman pak Cuan Ho sebagai ketua pertama kali, kesenian ini sempat populer di masyarakat, tapi di tahun 1965 kembali stagnan," terang pria berkacamata ini.

Setelah kurang lebih lima tahun fakum, di tahun 1970 an, tokoh pemuda bernama Boki yang juga menjadi ketua kedua tersebut, kembali menghidupkan lagi tradisi kesenian ini. Bahkan 20 orang pemain di era awal berdiri kembali bergabung. Dan selama tahun 1970 an ini, ketika jabatan Boki ini berakhir, digantikan Asni juga pada tahun 1970 an.
"Kalau dulu mau tampil, sesama umat Tridharma sumbangan. baik itu untuk keperluan latihan pemain ataupun akomodasi dan transportasi pemain selama dan sesudah pentas. Dulu itu, intinya untuk hiburan sekaligus ibadah. dan tidak ada promosi, kalaupun ada paling lewat mulut ke mulut saja," kata pria yang tinggal di jalan Taksam ini.

Pada tahun 1980-1982, kondisinya tidak jauh berbeda pada tahun 1965. Dimana, setelah banyak pemain yang sudah tua dan minimnya regenerasi pemain, menyebabkan kesenian ini secara perlahan meredup dan hilang sinarnya. Setelah itu, tahun-tahun berikutnya hingga tahun 1998, semua aktifitas dilarang oleh pemerintah. "Saat itu, semua kesenian yang berbau etnis Tionghoa dilarang termasuk wayang orang ini. Jadi, mau tidak mau, mati dengan sendirinya," ulasnya.

Setelah sempat mati suri selama tiga periode, pada tahun 2000, kesenian ini kembali dihidupkan dengan menunjuk Bitek sebagai ketua. Dari sini, perkembangan dan sinar dari kesenian ini kembali terang. dan setelah menjabat sekitar lima tahun, posisinya digantikan May Ya ditahun 2005. Dari sini, terjadi regenerasi pemain dari pemain senior, mulai banyak diikuti generasi muda.

Bahkan sekarang, jumlah anggota pemain dari wayang ini ada 60 orang. Sedangkan yang berusia lanjut, lebih banyak mengambil peranan sebagai guru atau peran orangtua saat latihan dan pentas. "Sampai sekarang, anggota yang seminggu tiga kali latihan ini mencapai 60 orang, jauh lebih banyak dari awal berdiri dulu yang tidak lebih dari 20 orang," katanya.

Namun demikian, permasalahan yang dihadapi saat ini, lebih pada keperluan dana selama latihan. pasalnya, untuk setiap latihan, dana yang dibutuhkan mencapai Rp 1juta. Sedangkan sumbangan yang masuk dari Kelenteng Dewi Kwan Im sebesar Rp 2 juta, Kelenteng Gie Hap Bio juga Rp 2 juta serta sumbangan dari donatur tetap yang berjumlah 10 orang, kalau digabung setiap bulan rata-rata mendapatkan Rp 7,5 juta. "Setiap latihan pasti saya nombok. Tapi saya anggap ibadah sekaligus melestarikan seni asli Tionghoa," ulasnya.

Untuk latihan, diakuinya akan semakin intens atau sering ketika ada permintaan untuk tampil. bahkan latihan bisa dilakukan setiap hari. Belum lagi, bila ada pemain yang lupa dengan dialog yang dibawakan, bisa diulang-ulang latihannya. "Saya sendiri suara sempat habis. Untungnya pas saat tampil suara sudah kembali. sehingga bisa tampil maksimal," tegasnya.

Sedangkan peralatan dan keperluan latihan atau tampil, sejauh ini tidak ada masalah yang berarti. dan ketika memang ada alat yang dibutuhkan kurang, dirinya tidak segan-segan untuk memesan langsung dari Tiongkok. "Ketika harus tampil memerankan si Pat Kay, saya harus memesan topeng wajah yang mirip babi langsung ke Tiongkok," jelasnya.

Namun demikian, peran yang paling sulit dipenuhi saat ada permintaan tampil, yakni cerita perang. Selain jumlah pemain yang terbatas, banyak karakter yang harus ditampilkan. Mulai dari prajurit, keluarga prajurit, masyarakat dan jenderal perang. Terkadang setiap cerita perang bisa membutuhkan 100 pemain.

"Keterbatasan pemain yang menyebabkan kita kadang menolak bila ada cerita perang. Tapi kalau soal cerita, saya memiliki 200 judul cerita yang bisa ditampilkan dan dimainkan. mulai romansa percintaan, keluarga, kerajaan, hingga sejarah masa lalu. Dan yang paling jauh, kami tampil di Medan," katanya.

Meski beragam cerita yang dibawakan, inti utama dari cerita ini mengajarkan anak-anak atau generasi muda untuk menghargai sejarahnya, mengasihi sesama dan makhluk hidup serta menjaga keharmonisan di masyarakat.

"Banyak filosofi yang terkandung dalam setiap cerita. Yang kami harap, filosofi kehidupan ini bisa dicerna dengan baik. Sehingga menimbulkan kecintan untuk melestarikan kesenian ini," tandasnya.(Why)



Saya Mau Ada Regenerasi USIANYA hampir setengah abad, tapi semangatnya tetap membara untuk memajukan Kesenian Tradisional Opera Hokkian atau wayang orang terus membara. Bahkan satu-satunya opera Hokian Palembang yang masih tetap eksis hingga saat ini. Dialah Hasan Solihin (48) Ketua Kesenian Tradisional Opera Hokian Palembang yang selalu berada dibelakang layar. Bahkan wayang ini merupakan wayang etnis satu-satunya di Indonesia.

Mengenakan kaus ungu dan berkacamata, bapak empat anak itu terlihat santai saat sripo menemuinya di kediamannya yang berlokasi di Jl M Isa Lrg Cinta Damai Kecamatan Ilir Timur II Palembang.

Diungkapkan generasi ke-3 itu, keterlibatannya dalam memajukan Opera Hokian itu karena ingin mendidik anak remaja. Maklum 50 pemain yang tergabung dalam opera tersebut sebagian besar remaja dari usia 12 tahun semuanya pria.

Cerita yang diangkat dalam setiap pertunjukan opera mengangkat legenda Chinese bahkan hingga saat ini sudah ada 200 judul yang biasa dipentaskan. Semua sudah dimainkan dengan apik oleh para pemain. Tak hanya manggung dari kelenteng ke kelenteng lainnya. Dia juga sering membawa anak didiknya manggung ke berbagai kota besar lain di Sumatera seperti Medan, Jambi, Pekanbaru dan lainnya.

Tidak mudah melatih anak untuk menjadi pemain opera profesional, katanya yang meiliki nama Chinese Tan Tiau Guan, karena wataknya yang keras maka kakek dua cucu itu sebelum mengajak anak bergabung harus memahami karakternya." Saya ini orangnya keras kalau dia sanggup ikut aturan dan dimarah,"terangnya lantas tertawa.

Untuk melihat pentas ini sukses atau tidak, biasanya dinilai dari banyaknya penonton yang hadir, disamping juga bagaimana mngarahkan anak-anak agar cerita yang dibawakan tidak lkeluar dari alur. Itulah mengapa setiap pentas selalu ramai penonton.

Agar penonton bisa mengerti dengan cerita yang dibawakan mereka sengaja memasang digital teks Bahasa Indonesia diatas panggung. inilah yang menjadi keistimewaaanya karena tidaks emua penonton bisa berbahasa Mandarin.

Banyak pelajaran yang bisa diambil dalam setiap pertunjukan yang ditampilkan yakni mengajarkan tentang kebaikan, bagaimana menjadi orang yang jujur, pantang menyerah serta memiliki jiwa pemberani. Nah ini diterapkan kepada anak-anaknya meski awalnya sang istri kurang menyetujui dengan kegiatannya di opera tersebut.

Agar setiap penampilan yang dibawakan sukses, pria
ini, selalu menggelar latihan selama dua-tiga jam. Tapi untuk mensukseskan pertunjukan ia menargetkan latihan hanya dilakukan paling lama lima hari." Saya sangat bangga jika latihan satu pertunjukan hanya dua hari,"katanya.
Lantaran merasa sudah tidak muda lagi dia berharap ada regenerasi yang bisa meneruskan kesenian wayang ini. "Saya berharap ada regenerasi yakni anak-anak muda zaman sekarang karena kesenian seperti ini harus dilestarikan jangan sampai terlupakan,"katanya. (Why)





Dikirim dari iPhone saya

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Berita hoki "