Disrupsi Politik
SEMANGAT pagi, mulai hari ini saya mencoba untuk menulis, mengupas dan berpendapat tentang hal yang menjadi fenomena di masyarakat. Saya tentu berharap berkenan di hati para pembaca yang budiman. Lalu mengapa saya namakan Keypad tidak lain agar ada warna kekinian. Para tokoh pers negeri ini dulu juga sering menulis tentang sikap, pemikiran atas fenomena yang terjadi, seperti Bapak Jacob Oetama pada Tajuk Rencana Kompas, Catatan Pinggir Goenawan Mohammad, Catatan Dahlan Iskan, dan lainnya.
Keypad (deretan huruf dan numerik pada alat elektronik seperti komputer, laptop, iPad dan lainnya) Hadi Prayogo nantinya mengupas sosial, ekonomi, budaya dan politik. Tentu saja kualitas tulisan tidak bisa disamakan dengan para senior tokoh pers nasional, mereka lebih tajam dan sarat pengalaman. Namun paling tidak saya berupaya untuk menyajikan yang terbaik berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan referensi yang ada.
****
Membaca postingan saudara, kawan dan sahabat dalam minggu-minggu terakhir ini menunjukkan sebuah fenomena yang terkadang menggelitik dan bikin tertawa sendiri. Misal "Hari gini, kalau ada orang yg tak kamu kenal tapi tersenyum ramah padamu, 90 persen dipastikan bhw dia Caleg".
Ada lagi yang lebih lucu, postingan dari kawan sesama pemimpin redaksi, "Saya katanya gagah dan ganteng terus ada yang bilang kenapa tidak nyaleg". Ada juga yang kritis Caleg menjadi salah satu jenis pekerjaan (profesi) yang baru. Lalu yang mengagetkan dan kemudian jadi tertawa geli. Lama tidak update, tiba-tiba seorang kawan posting dia kini Caleg nomor urut sekian dari partai tertentu. Dan tentu saja ujung-ujungnya minta dukungan dan bahkan sudah menyiapkan links vote.
Itulah eforia dari proses demokrasi negeri ini. Lima tahun lalu memang belum terasa, tapi tahun ini begitu deras karena media sosial yang kian mengakar di masyarakat kita.
Dari beberapa postingan di atas bisa ditebak menurut persepsi masyarakat syarat menjadi Caleg ataupun kepala daerah dalam Pilkada adalah penampilan atau kerap disebut cashing (meminjam istilah pada ponsel), lalu harus menyapa memasyarakat dengan senyum dan senantiasa blusukan agar dikenal dan akrab dengan para pemilih. Masyarakat lalu melupakan kualitas, visi misi apalagi jika mereka menyebar "serangan fajar" atau politik uang, sebagian masyarakat kita harus disebut dengan rasa prihatin memang masih termakan dengan segala bentuk "serangan fajar" itu.
Lalu apakah cara-cara lama itu masih berlaku sekarang ini, terutama menjelang Pileg/Pilpres 2019 mendatang. Saya mengajak para kontestan menerapkan apa yang saya sebut sebagai disrupsi politik. Disrupsi meminjam istilah pengamat ekonomi paling beken saat ini Rhenald Kasali adalah sebuah perubahan mendasar yang membuat sebuah organisasi atau perusahaan memenangkan persaingan.
Disrupsi tidak hanya sebuah cara baru tapi juga norma dan budaya baru meninggalkan cara dan budaya lama. Dan disrupsi sangat terkait dengan perkembangan teknologi saat ini.
Sehingga disrupsi politik bisa diartikan cara merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan cara dan budaya baru yang terkait dengan teknologi informasi saat ini. Karena itu para Caleg kalau menggunakan disrupsi politik ini, bisa diharapkan memenangkan pertandingan.
Munculnya pemenang Pilkada 2018 yang baru lalu tidak lain karena menggunakan cara cara baru misalnya menggunakan media sosial seperti yang dilakukan Ridwan Kamil, pemenang Pilgub Jabar 2018, menyapa warga pemilih melalui instagramnya. Dengan follower 8,4 juta akun, Kang Emil begitu panggilan akrabnya menyapa masyarakat dengan bahasa sehari-hari tidak muluk-muluk. Dia siap membantu masyarakat yang kesulitan dalam layanan publik melalui IG tersebut.
Sebelumnya Presiden Jokowi juga berhasil memenangkan hati masyarakat Indonesia via cara-cara baru baik dalam Pilkada DKI 2012 maupun kemudian Pilpres 2014, menjadi media darling yang ternyata tidak bisa diikuti oleh para pesaingnya pada saat itu. Sentuhan-sentuhan humanis serta kata-kata yang terkesan lugu menyentuh hati masyarakat bangsa ini untuk memilih Jokowi.
Pilgub Sumsel 2018 yang memunculkan Herman Deru meraih suara terbanyak (meskipun masih belum sah karena adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi), tetap mencuri perhatian. Ini karena Herman Deru yang notabene tidak aktif dalam dunia pemerintahan sejak tidak lagi menjadi Bupati OKUT 2013 lalu, bisa mengungguli tiga pesaing yang masih menjabat baik bupati (Dodi Reza Alex dan Azwari Rivai) maupun wakil gubenur (Ishak Mekki).
Tercatat Herman Deru paling aktif menggunakan media sosial baik Facebook maupun Instagram, dan yang ditawarkan adalah sama sekali berbeda dengan pesaingnya. Sosok Herman Deru juga lebih membumi misalnya, hadir di acara sedekahan berbagai daerah, kunjungan ke pasar, bertemu dengan mertua, berkumpul dengan anak dan istrinya, sebagian saja postingan yang memunculkan dirinya sebagai figur politisi. Namun karena masih dalam sidang MK, belum bisa disahkan pemenang Pilgub Sumsel 2018 ini, segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Ubah Cara dan Norma
Kembali ke disrupsi politik tadi. Jack Ma, pendiri Alibaba, perusahaan transaksi daring terbesar di dunia juga mengatakan, fungsi guru pada era digital ini berbeda dibandingkan guru masa lalu. Kini, guru tidak mungkin mampu bersaing dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hapalan, hitungan, hingga pencarian sumber informasi. Mesin jauh lebih cerdas, berpengetahuan, dan efektif dibandingkan kita karena tidak pernah lelah melaksanakan tugasnya.
Karena itu, fungsi guru bergeser lebih mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial karena nilai-nilai itulah yang tidak dapat diajarkan oleh mesin. Jika tidak, wajah masa depan pendidikan kita akan suram. Guru perlu untuk memulai mengubah cara mereka mengajar, meninggalkan cara-cara lamanya serta fleksibel dalam memahami hal-hal baru dengan lebih cepat.
Demikian juga para politisi terutama yang saat ini sedang bersiap bertarung dalam Pileg harus
pula mempersiapkan perubahan cara dan norma berpolitik atau disrupsi politik. Yang pertama, ubah bahwa menjadi seorang legislatif itu sebuah pekerjaan untuk menjadi kaya mendadak. Menjadi legislatif adalah memperjuangkan hak dan aspirasi rakyat. Sangat jarang seorang Caleg dalam sosialisasi dan kampanye mengetengahkan program berjuang untuk rakyat. Yang ditonjolkan chasing foto berbagai gaya dan sisi sehingga dia kelihatan menawan. Ini yang mengakibatkan jika seorang keren dalam penampilan langsung dikomentari kenapa tidak menjadi Caleg atau maju dalam Pilkada.
Stop money politics, mulai kembangkan program yang menyentuh rakyat dan konsisten ketika terpilih duduk jadi wakil rakyat. Yang ada saat ini anggota dewan mementingkan diri dan partainya, bisa dilihat berapa Raperda menjadi Perda hasil sidang DPRD dalam kurun waktu lima tahun bekerja. Yang sering kita lihat justru, oknum anggota dewan kena OTT KPK karena korupsi atau disuap atau bahkan yang miris tertangkap selingkuh dan lain-lain yang merusak citra lembaga legislatif.
Gunakan teknologi kekinian misal Facebook, Instagram , Grup WhatsApp, Line dan lainnya. Sampaikan program pro rakyat ke berbagai platform bukan hanya sosialisasi dan kampanye di media cetak tapi juga di online dan sosial media termasuk YouTube. Sehingga antar Caleg adu program menarik. Misal tagline Berjuang Palembang Bebas Banjir atau Siap Mundur Jika Ada Rakyat Tergusur, dan lainnya.
Dalam hal ini Sriwijaya Post dan Tribun Sumsel adalah media yang multiplatform baik cetak (koran), online (sripoku.com dan tribunsumsel.com), medsos (instagram, facebook, twitter dan YouTube) bahkan tengah dikembangkan teknologi koran video (Augmented Reality)
Harapan kita Legislatif hasil Pileg 2019 lebih berkualitas dari sisi kegigihan membela rakyat dan berjuang untuk merealisasi janji kampanyenya. Dan yang lebih penting lagi, rakyat bosan melihat atau mendengar OTT di kalangan anggota dewan. Semoga harapan ini terwujud. Disrupsi politik di kalangan caleg atau kontestan pilkada menjadikan negeri ini lebih baik. (Hadi Prayogo Dirut Sriwijaya Post/Kepala Newsroom Sripo-Tribun Sumsel/Ketua KG Sumbagsel)
Dikirim dari iPad saya
0 Response to "Disrupsi Politik"
Post a Comment