Magnet Energi Positif Ka'bah
SUDAH banyak pendapat yang mengungkapkan, bahwa melihat Ka'bah atau Baitullah di hadapan secara langsung akan membuat takjub dan terkesima dan bahkan bisa bercucuran air mata melihat kebesaran akan ciptaan Allah tersebut. Sebagai muslimah ungkapan ini membuat penasaran hati, apakah saya bisa juga merasakan perasaan seperti itu.
Saat panggilan menunaikan haji tiba untukku, rasa penasaran itu makin membludak dan ingin segera berada di hadapan Ka'bah. Ketika saat itu tiba, tak sabar rasanya ingin segera berdekatan, ingin merasakan sesuatu seperti yang diungkapkan orang banyak.
Memasuki halaman Masjidil Haram dari jauh telah terlihat bangunan yang sudah sangat hafal di benakku. Tak sekejappun pandangan kulepaskan. Sambil berjalan perlahan bersama rombongan untuk memulai umrah wajib sebagai rangkaian ibadah haji, terasa ada getaran halus menyeruak hati, entah rasa apa tapi getaran itu membuat haru hati seakan tak percaya, bahwa bangunan berbentuk kotak hitam dihiasi ornamen keemasan di hadapanku saat itu adalah Ka'bah.
Mataku mulai berkaca-kaca hingga akhirnya airmataku tumpah membasahi wajah. Subhanallah..rasa penasaranku terjawab sudah. Aku juga bisa merasakan getaran kebahagian entah dari mana asalnya saat melihat Ka'bah di hadapanku.
Sambil berucap Bismillahi Allahuakbar ketika memulai tawaf dan dilanjutkan melantunkan Subhanallah Walhamdulillah Walailahaillallah Wallahuakbar Walahaulawala quataillah billah hilali hilazim, pandanganku tak akan kualihkan. Seandainya bisa, mata ini tak kubolehkan berkedip seakan pandanganku tak ingin kehilangan sosok Ka'bah di hadapanku.
Putaran demi putaran saya lalui dengan rasa bahagia dan ada rasa nyaman di hati. Rasa sakit yang tersimpan di hati dan beban sakit hati yang terzolimi dari beberapa teman sirna sedilkit demi sedikit. Akhirnya tinggal kelapangan hati untuk memaafkan sehingga perasaan menjadi nyaman dan ikhlas. Saat putaran ke tujuh berakhir, saya dan rombongan harus keluar dari arus dan memberikan kesempatan bagi jemaah lain untuk bertawaf, pandangan saya tetap saja tak beralih dari Ka'bah, Ya Robb...kenapa ada perasaan seakan saya takut kehilangan rasa itu karena harus meninggalkan posisi tawaf.
Demikian halnya ketika disunatkan meminum air zam-zam dan shalat sunat setelah tawaf, saya tetap menatap Ka'bah. Sebelumnya jika shalat disunatkan padangan mata kita harus ke sajadah agar lebih fokus dan berkonsentrasi. Namun ketika shalat sunah di depan Ka'bah, pandangan saya tetap melihat Ka'bah, bukan pada sajadah alas untuk shalat. Ampuni saya ya Allah, jika shalat saya menjadi kurang sempurna, karena kesempatan melihat Ka'bah tak akan saya sia-siakan.
Besok-besoknya saya menjadi terkenang-kenang dengan Ka'bah seakan ada magnet yang memanggil-manggil saya untuk kembali ke sana. Saya tak berani menceritakan hal ini kepada siapa pun, saya khawatir hal ini menimbulkan prasangka negatif bagi jemaah lain. Seandainya saja jarak antara hotel dan Masjidil Haram cukup dekat, saya pasti akan mendatangi Ka'bah untuk bertawaf dan shalat lima waktu di sana karena menurut literatur yang saya baca, Nabi Muhammad SAW mengutamakan untuk banyak bertawaf jika berada di Masijil Haram.
Sayangnya jarak hotel-Masjidil Haram cukup jauh, sekitar 1 km dan jalannya menanjak membuat kelelahan yang luarbiasa karena berada di cuaca panas yang berkisar antara 40 s/d 43 derajat Celsius. Sebetulnya bisa saja dari hotel ke masjidil Haram naik taksi, tapi rasanya saya ingin lebih afdol jika berjalan kaki ke Masdijil haram, karena memang disunatkan untuk berjalan kaki. Jadi saya usahakaan satu atau dua shalat fardhu saja berada di sana dan bertawaf sunat, karena harus meyimpan tenaga dan menjaga kondisi untuk Wukuf dan ibadah di Mina.
Pada saat wukuf, selain berdoa secara pribadi, untuk keluarga dan titipan doa dari teman-teman di tanah air, saya tak lupa berdoa agar selalu bisa bertawaf berkali-kali seusai ritual ibadah haji selesai. Tawaf..tawaf..tawaf itu yang ada dibenak saya karena saya mendapatkan ketenangan bathin yang luar biasa saat bertawaf.
Saya selalu mengenakan kacamata hitam, selain untuk menjaga mata dari terik matahari, tapi juga sebagai tabir agar ketika saya bercucuran air mata, tak terlihat orang banyak.
Ketika tawaf wada sebagai tanda perpisahan dengan Bitullah, tak terasa air mata saya mengalir deras karena harus meninggalkan Mekah menuju tanah air. Enggan saya rasanya meninggalkan Ka'bah karena kelapangan dan kenyamanan hati saat berdoa tak pernah saya dapatkan dimana pun selain ketika berdoa di depan Ka'bah. Sempat terpikirkan di benak saya, ketika tengah sakit demam selama dua hari karena kelelahan, saya berdoa apabila sampai waktu ajal, berilah kesempatan saya meninggal dunia di tanah haram ini.
Namun akhirnya saya disadarkan, masih banyak yang harus saya kerjakan di dunia ini yang bisa bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
Ya Rob, berikanlah kesempatan untuk kembali mengunjungi Baitullah, dan berikanlaah rasa kenyamanan dan kelapangan hati dalam shalat dan doa, agar selalu istiqomah dalam beribadah meski berjauhan dengan Ka'bah, Aamiin... (*)
Dikirim dari iPad saya
0 Response to "Oleh-oleh Dari Tanah Suci (2)"
Post a Comment