Simbol Kekangan Sarung: Matinya Kebebasan Pers
-Ratusan Jurnalis Lintas Media Geruduk Mapolda Sumsel
PALEMBANG, SRIPO --Ratusan jurnalis lintas media di Palembang menuntut kebebasan pers atas tindakan diskriminatif kepada salah satu jurnalis Tribun Sumsel. Selain orasi dan pernyataan sikap, aksi teaterikal juga dilakukan demi menuntut keadilan di Mapolda Sumsel, Jumat (12/5).
Aksi teaterikal tersebut bukan tanpa pesan. Sarung simbol merupakan kekangan, tali kafan simbol matinya kebebasan. Lalu pena dan kertas simbol jurnalisme. Jika ditarik maknanya adalah tindakan represif dan intimidasi terhadap jurnalis.
Koordinator Lapangan (Korlap) aksi, Muhammad Muslim, mengatakan, aksi yang dilakukan bersama rekan-rekan jurnalis ini merupakan bentuk solidaritas dan kepedulian terhadap sesama profesi jurnalis.
"Hari ini (kemarin) rekan-rekan jurnalis dari AJI dan organisasi profesi jurnalis lainnya menyatakan sikap terhadap tindak intimidasi terhadap rekan jurnalis yang dalam kejadian ini menimpa jurnalis perempuan. Tindakan aparat yang mengambil atribut dan perlengkapan peliputan adalah bentuk intimidasi. Tentu hal itu sangatlah bertentangan dengan UU Pers," ungkapnya, Jum'at (12/5).
Terkait hal ini, lanjut Muslim, AJI Palembang berencana
akan membawa persoalan ini ke ranah hukum agar ke depan tidak ada lagi intimidasi ataupun kekerasan lainnya terhadap jurnalis. "Ke depan tentu kita tidak ingin hal ini kembali terjadi. Oleh sebab itu, persoalan ini akan kita usut tuntas dan dibawa ke ranah hukum," jelasnya.
Di tempat yang sama, Koordinator Aksi (Korak) yang juga Koordinator Bidang Advokasi AJI Palembang, Tasmalinda menegaskan, sejauh ini kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi. Hukum seakan tidak mampu menindak pelaku kekerasan terhadap jurnalis (impunitas) dalam menjalankan tugasnya. Di setiap daerah memiliki persoalan yang sama, dimana aparat selalu menjadi aktor. Padahal tugas jurnalis di lindungi Konstitusi (UUD 1945) dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Intimidasi aparat kepoliaian (simbol penegakan hukum) terhadap jurnalis, jelas membahayakan kebebasan pers (simbol demokratisasi) di Indonesia.
"AJI Palembang sangat menyesalkan masih terjadinya aksi kekerasan oleh aparat penegak hukum terhadap jurnalis. Intimidasi atau kekerasan terhadap jurnalis yang sedang bertugas meliput, merupakan salah satu bentuk menghalang-halangi hak publik untuk memperolah informasi yang akurat dan faktual. Jurnalis tidak bisa bekerja dengan leluasa di lapangan. Padahal jurnalis bekerja untuk kepentingan publik," terangnya.
Dalam kesempatan itu, AJI Palembang, PFI Palembang, dan IJTI Sumsel menyatakan sikap bersama mengecam keras bentuk kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepolisian (Polda Metro Jaya) kepada jurnalis tribunsumsel Sri Hidayatun yang sedang melaksanakan peliputan. Atas tindakan kekerasan tersebut, oknum polisi pelaku intimidasi agar diproses sesuai aturan yang berlaku dalam hal ini UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. AJI Palembang juga mengimbau seluruh elemen masyarakat khususnya anggota Polri untuk memahami tugas dan fungsi jurnalis yang bekerja untuk publik.
Sementara itu, Kepala Bidang Operasi Shabara Mapolda Sumsel, Gun Hariadi mengatakan, pihaknya juga sangat menyayangkan atas adanya kejadian ini. Pihaknya juga atas nama pihak Kepolisian menyatakan permohonan maaf kepada para jurnalis. "Kami juga sangat menyayangkan kejadian ini. Intinya kami perwakilan kepolisian memohon maaf yang sebesar-besarnya. Sebab, bagi kami Jurnalis ataupun rekan-rekan media itu merupakan mitra terbaik kepolisian dalam menjalankan tugas untuk keamanan dan kenyamanan masyarakat banyak," ungkapnya. (cr9)
Dalam aksi solidaritas itu, seorang jurnalis tengah melakukan teaterikal tanda dibatasinya kebebasan bagi insan pers. Dengan mengenakan pakaian tertutup kain, jurnalis tersebut tampak memegang kertas dan pena. Sesekali ia berontak ingin keluar dari sarung, namun tak bisa. Akhirnya ia hanya terkukung dalam keterbatasan berekspresi dan terus menulis dalam balutan kain.
Aksi teaterikal tersebut bukan tanpa pesan. Sarung simbol merupakan kekangan, tali kafan simbol matinya kebebasan. Lalu pena dan kertas simbol jurnalisme. Jika ditarik maknanya adalah tindakan represif dan intimidasi terhadap jurnalis.
Kegiatan tersebut juga diramaikan oleh anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumsel, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palembang, bersama puluhan jurnalis lainnya antar desk. Para jurnalis dari berbagai media ini mengecam tindak intimidasi yang dilakukan oknum aparat Polda Metro Jaya terhadap jurnalis Tribun Sumsel, Sri Hidayatun. Oknum tersebut menghapus foto dan video hasil liputan Sri pada Rabu (10/5) lalu.
Koordinator Lapangan (Korlap) aksi, Muhammad Muslim, mengatakan, aksi yang dilakukan bersama rekan-rekan jurnalis ini merupakan bentuk solidaritas dan kepedulian terhadap sesama profesi jurnalis.
"Hari ini (kemarin) rekan-rekan jurnalis dari AJI dan organisasi profesi jurnalis lainnya menyatakan sikap terhadap tindak intimidasi terhadap rekan jurnalis yang dalam kejadian ini menimpa jurnalis perempuan. Tindakan aparat yang mengambil atribut dan perlengkapan peliputan adalah bentuk intimidasi. Tentu hal itu sangatlah bertentangan dengan UU Pers," ungkapnya, Jum'at (12/5).
Terkait hal ini, lanjut Muslim, AJI Palembang berencana
akan membawa persoalan ini ke ranah hukum agar ke depan tidak ada lagi intimidasi ataupun kekerasan lainnya terhadap jurnalis. "Ke depan tentu kita tidak ingin hal ini kembali terjadi. Oleh sebab itu, persoalan ini akan kita usut tuntas dan dibawa ke ranah hukum," jelasnya.
Di tempat yang sama, Koordinator Aksi (Korak) yang juga Koordinator Bidang Advokasi AJI Palembang, Tasmalinda menegaskan, sejauh ini kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi. Hukum seakan tidak mampu menindak pelaku kekerasan terhadap jurnalis (impunitas) dalam menjalankan tugasnya. Di setiap daerah memiliki persoalan yang sama, dimana aparat selalu menjadi aktor. Padahal tugas jurnalis di lindungi Konstitusi (UUD 1945) dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Intimidasi aparat kepoliaian (simbol penegakan hukum) terhadap jurnalis, jelas membahayakan kebebasan pers (simbol demokratisasi) di Indonesia.
"AJI Palembang sangat menyesalkan masih terjadinya aksi kekerasan oleh aparat penegak hukum terhadap jurnalis. Intimidasi atau kekerasan terhadap jurnalis yang sedang bertugas meliput, merupakan salah satu bentuk menghalang-halangi hak publik untuk memperolah informasi yang akurat dan faktual. Jurnalis tidak bisa bekerja dengan leluasa di lapangan. Padahal jurnalis bekerja untuk kepentingan publik," terangnya.
Dalam kesempatan itu, AJI Palembang, PFI Palembang, dan IJTI Sumsel menyatakan sikap bersama mengecam keras bentuk kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepolisian (Polda Metro Jaya) kepada jurnalis tribunsumsel Sri Hidayatun yang sedang melaksanakan peliputan. Atas tindakan kekerasan tersebut, oknum polisi pelaku intimidasi agar diproses sesuai aturan yang berlaku dalam hal ini UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. AJI Palembang juga mengimbau seluruh elemen masyarakat khususnya anggota Polri untuk memahami tugas dan fungsi jurnalis yang bekerja untuk publik.
Sementara itu, Kepala Bidang Operasi Shabara Mapolda Sumsel, Gun Hariadi mengatakan, pihaknya juga sangat menyayangkan atas adanya kejadian ini. Pihaknya juga atas nama pihak Kepolisian menyatakan permohonan maaf kepada para jurnalis. "Kami juga sangat menyayangkan kejadian ini. Intinya kami perwakilan kepolisian memohon maaf yang sebesar-besarnya. Sebab, bagi kami Jurnalis ataupun rekan-rekan media itu merupakan mitra terbaik kepolisian dalam menjalankan tugas untuk keamanan dan kenyamanan masyarakat banyak," ungkapnya. (cr9)
0 Response to " "
Post a Comment