Hutan Kami Sudah Habis
"HUTAN kami sudah habis. Tak ada lagi hutan tempat kami mencari kehidupan. Semuanya sudah dibabat habis oleh perusahaan-perusahaan besar," keluh Raksa, Kepala Suku Anak Dalam (SAD) yang mendiami wilayah Desa Mandiangin Kecamatan Rawasilir Kabupaten Muratara, saat Sripo mengunjungi pemukiman mereka Jumat (13/1) petang.
Raksa dan anggotanya pantas mengeluh. Sebab, "habitat" alamiah mereka kini nyaris punah. Nyaris tak ada lagi tempat bagi mereka untuk menetap. Lokasi-lokasi dalam rimba belantara yang tadinya merupakan rumah dan kampung halaman bagi mereka, kini sudah berubah jadi areal perkebunan. Puluhan ribu hektar hutan dengan aneka ragam hayati didalamnya yang menjadi sumber penghidupan suku anak dalam atau yang dikenal dengan suku Kubu, kini berganti tanaman sawit. Mereka yang terbiasa hidup berpindah, dari satu hutan ke hutan lainnya, kini susah karena rimba makin sempit.
"Mau cari makan susah sekarang ini. Makanan kami macam ubi ganar, ubi gadung, sudah sulit ditemui. Tanaman itu adanya didalam hutan. Kalau hutan tidak ada lagi, sulit mencarinya," ujar Raksa.
Dikatakan, kebiasaan mereka hidup berpindah (nomaden) sudah menjadi tradisi. Mencari penghidupan dari satu rimba ke rimba lainnya. Namun kini mereka mencoba bertahan di areal perkebunan PT Lonsum diwilayah Desa Mandiangin Kecamatan Rawasilir. Sudah sekitar tiga tahun ia bersama sekitar 39 kepala keluarga (KK) yang menjadi anggotanya bermukim disana.
"Kami mau saja menetap, asalkan ada jaminan untuk penghidupan. Kami butuh tempat yang layak. Anak-anak kami juga perlu pendidikan, kami juga perlu air bersih," katanya.
Senada dikatakan Amir, salah seorang warga SAD Mandiangin. Menurutnya, sejak hutan makin sempit, mereka terpaksa bertahan di kebun sawit. Mereka selama ini biasa mencari makan dengan cara berburu aneka binatang hutan dan mencari tetumbuhan didalam hutan. Kini, karena sulit mencari hewan buruan, mereka terpaksa mencari makan dengan memungut brondolan (buah sawit yang jatuh dan terlepas dari tangkainya) diareal perkebunan PT Lonsum Desa Mandiangin, tempat mereka bermukim saat ini. Dalam satu hari, mereka bisa mendapatkan satu karung brondolan. Hasilnya mereka jual kepada masyarakat yang menampung sawit brondol.
"Kadang dapat sekarung sehari. Kami jual ke lapak seharga Rp700-900 per kilogram. Hasil penjualan untuk biaya hidup sehari-hari," ungkap Amir.
Dikatakan, meski sudah bermukim dan dapat penghasilan dari menjual brondolan sawit, terkadang ia dan rekannya masih sering melangun kedalam hutan, mencari hewan buruan. Seperti labi-labi (sejenis kura-kura), babi, biawak dan hewan lainnya. "Kini susah cari binatang buruan. Labi-labi sudah jarang, paling babi yang masih banyak," katanya.
Suku Anak Dalam diwilayah Mandiangin Kecamatan Rawasilir yang bermukim diareal perkebunan sawit PT Lonsum ini, menetap dengan mendirikan pondok-pondok seadanya, beratap dan berdinding terpal. Ada juga yang pondoknya beratap dedaunan kering yang dianyam. Jumlah mereka sekitar 39 kepala keluarga (KK) dan sudah menetap sekitar tiga tahun. Meski menetap, pola hidup nomaden (hidup berpindah) masih terus dilakukan. Dalam waktu-waktu tertentu, mereka meninggalkan lokasi, dan berpindah kelokasi lain. Sebagian besar kelompok ini berasal dari wilayah Sungai Jernih Kecamatan Rupit Kabupaten Muratara. (ahmad farozi)
Ket foto
1. Amir, salah seorang warga SAD Mandiangin.
2. Perempuan suku SAD, menggendong anaknya dipemukiman SAD areal perkebunan sawit PT Lonsum Desa Mandiangin Kecamatan Rawasilir Kabupaten Muratara.
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Telkomsel.
0 Response to "Berita 1501.zie.dae"
Post a Comment