Buy and Sell text links

BERITA BUDAYA PAGARALAM

Foto: dok pribadi penulis


Nampunkah Kule, Lamaran ala Besemah


PAGARALAM, SRIPO - Begitu banyaknya tradisi di Besemah ini. Satu di antaranya tradisi melamar. Di Besemah, tradisi melamar itu disebut dengan nama Nampunkah Kule (Lamaran).


Anggota Lembaga Adat Besemah, Satarudin Tjik Olah menuturkan, nampukah kule merupakan cara jeme besemah ketika melaksanakan lamaran. 


"Tradisi nampunkah kule, sudah ada sejak dulu," kata Satar, ketika ditemui Sripo, Sabtu (22/10).


Dijelaskannya, nampunkah kule dilaksanakan dengan cara pengiriman utusan dari pihak laki-laki. Utusan tersebut ditunjuk untuk menyampaikan pesan lamaran kepada pihak perempuan. 


"Utusan dari pihak laki-laki itu jumlahnya dua orang atau lebih. Kalau dulu, utusan ini harus membawa kampek (Tas) yang isinya di antaranya lemang 10 ruas dan ibatan nasi," jelasnya.


Saat sampai di rumah pihak perempuan, utusan dari pihak laki-laki ini lalu menyampaikan maksud dan tujuannya. Yaitu untuk menyampaikan lamaran. Nantinya yang akan menjawab niat dari pihak laki-laku adalah utusan dari perempuan. 


Kata Satar, utusan dari perempuan bertindak sebagai juru bicara. Umumnya jubir ini diambil dari keluarga dekat pihak perempuan. 


"Namun sebelum masuk ke tujuan, utusan laki-laki itu biasanya bercengkrama lebih dahulu dengan keluarga perempuan. Biasa. Agar suasana lebih terasa akrab," katanya.


Usai mendengarkan maksud dan tujuan utusan dari pihak laki-laki, maka Jubir pihak perempuan kemudian bertanya kepada orangtua mempelai wanita. Kalau orangtua setuju, maka lamaran artinya sudah diterima. Dengan demikian, tuntas sudahlah tugas utusan dari pihak laki-laki. 


Sebelum pamit pulang, utusan laki-laki itu menyerahkan kampek yang berisi aneka makanan itu kepada orangtua calon mempelai wanita. Utusan laki-laki itu lalu pulang. Mereka melaporkan kepada pihak laki-laki, bahwa lamaran sudah diterima.


Bagaimana cirinya bila lamaran tidak diterima? Kata Satar cirinya mudah diketahui. Ini terang dia, bisa dilihat dari respon pihak perempuan. 


"Biasanya pihak perempuan langsung menjawab terus terang. Bahwa, lamaran ditolak," jawab Satar.



Nyemantung


Pemerhati budaya Besemah, Kasmadi Lani menambahkan, nampunkah kule boleh dibilang sebagai langkah lanjutan. Sebab kata dia, sebelum itu nampunkah kule dilakukan, bujang dan gadis sudah saling kenalan. 


"Bujang dan gadis kenalan terlebih dahulu. Entah itu \ bertemu ketika sedang begarehan (Datang dirumah warga yang sedang sedekah). Atau saat sedang si gadis membuat roti dalam sebuah persedekahan," jelasnya.


Pertemuan itu lalu dilanjutkan ke jenjang lainnya yakni perkenalan dengan lebih mendalam. Yakni tutur Madi, si bujang mendatangi rumah si gadis dengan membawa ayam. Ini sebut dia, selanjutnya disebut dengan istilah nyemantung. "Tapi, di dalam rumah, si gadis tetap ditemani ibu atau neneknya,"bebernya. 


"Hal ini untuk menjaga sopan santun," jelasnya.


Ketika hatinya sudah mantab, si bujang memutuskan untuk melamar si gadis. Inilah yang kemudian disebut dengan nampunkah kule tadi. Menurut Madi, bila lamaran si bujang diterima maka salahsatu cirinya adalah, kampek berisi lemang yang dibawa akan berkurang jumlahnya. 


"Biasanya lemang yang dibawa utusan laki-laki itu berjumlah genap. Entah itu 10 ruas, 20 atau 30 ruas. Nah, bila lemang tersebut berkurang, artinya lamaran si bujang sudah diterima," ceritanya. 


Berkurang yang dimaksud Madi, adalah jumlah lemang yang dibawa utusan laki-laki diambil oleh pihak perempuan. 


"Atau bisa juga lemang tersebut sudah dikupas," lanjut Madi.

 


Nyetekah Rasan


Bila lamaran diterima, maka acara selanjutnya adalah nyetekah rasan. Menurut Madi, nyetakah rasan dilaksanakan sekitar dua minggu setelah nampukan kule. Ia menjelaskan, nyetakah rasan bertujuan untuk memusyawarahkan hari dan tanggal yang tepat untuk melaksanakan perkawinan. 


"Sebab, kedua belah pihak tidak bisa saling memasakan kehendak masing-masing. Harus dicari titik temunya. Di nyetekah rasan itulah, titik temu tersebut didapat," ulasnya.  


Hilang Karena Modernisasi


Sayang, tradisi nampunkah kule, kini sudah jarang ditemui lagi di tengah masyarakat besemah. Madi memprediksi, nampunkah kule sudah mulai tidak diterapkan sejak 19-70-an. Gara-garanya, kata Madi, karena pengaruh modernisasi. 


"Sebab, jeme kite merasa tradisi itu sudah kuno. Padahal, tidaklah demikian. Tradisi besemah itu memiliki filosofi yang tinggi," katanya.


Lebih lanjut Madi menyatakan, berdasarkan hasil obeservasinya sejak 1991, tradisi nampunkah kule, sudah hilang di hampir semua dusun di kota Pagaralam. Hanya tersisa sedikit dusun yang masih menerapkannya. 


"Mungkin nampunkah kule versi modern masiha ada. Tapi kalau yang versi kuno seperti yang saya jelaskan tadi, sudah sulit ditemukan," ujarnya.


Satarudin Tjik Olah sepakat dengan Madi Lani. Ia menyatakan, tradisi nampunkah kule sudah jarang dilaksanakan di berbagai dusun di Besemah. 


"Ada, tapi sudah jarang sekali," tegasnya.(one)


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "BERITA BUDAYA PAGARALAM"